Sebuah email masuk, tertulis subject “Salam Literasi”. Lantas saya baca pesan yang disampaikan. Seorang bernama Sili Suli yang merupakan penulis novel “Surya, Mentari dan Rembulan” mengatakan bahwa beliau ingin memberikan dua eksemplar novelnya ke saya.
Sedikit informasi tentang novel Surya, Mentari dan Rembulan. Novel ini diluncurkan pada ajang Ubud Writers and Readers Festival 2019. Untuk lebih lengkapnya saya ulas terkait novel tersebut di postingan ini.
Judul: Surya, Mentari dan Rembulan
Penulis: Sili Suli
Penerbit: Arti Bumi Intaran
ISBN: 978-602-5963-39-1
Halaman: xxviii + 469
Cetakan Pertama: April 2019
Genre: Fiksi, Budaya, Travelling
Kampung Waka’ hingga Menjejakkan kaki di Gunung Sagarmatha
Di kaki Gunung Napo, Toraja, penduduk setempat hidup seperti biasa. Daerah yang masih kuat adat dan budaya tentu tunduk pada aturan yang berlaku. Di sanalah Surya tinggal bersama seluruh masyarakat desa.
Berlatarkan cerita tahun 1884, tentu kehidupan di Toraja begitu kental dengan segala ritual. Hingga pada suatu ketika terdapat kejadian luar biasa yang mengusik tokoh di kampung Waka’. Penculikan putra tokoh adat oleh sekelompok saudagar dengan alasan tertentu.
Surya dan kawan-kawannya mendapatkan amanat untuk mencari anak muda yang diculik. Perjalanan mereka tidak hanya mencapai Pare-pare, tapi harus menyeberang pulau ke Jawa. Padahal mereka sama sekali tidak pernah tebersit untuk sampai di pulau Jawa.
Dari berbagai kolega tokoh adat dan saudagar kaya di Pare-pare dan sekitarnya. Surya menjejakkan kaki di Djogja. Dia mendapatkan bantuan selama perjalanan dari kenalan saudagar kaya dalam misi mencari putra tersebut.
Perjalanan ini tidak mudah, mencari putra yang terculik tersebut menguras energi. Sampai akhirnya semesta membantu dengan cara berbeda. Bagaimana caranya hingga Surya bisa kenalan dengan orang Keraton yang mempunyai wewenang kuat untuk menebus putra yang diculik.
Namun, setelah sang putra ditemukan. Ini bukan akhir cerita. Baru memulai babak baru yang panjang, hingga akhirnya Surya bisa mengikuti perjalanan panjang mengunjungi tempat yang mungkin tidak pernah dia ketahui lokasinya. Gunung Sagarmatha namanya.
Membaca novel Surya, Mentari dan Rembulan ditemani kopi |
Di sinilah perjalanan yang paling menguras tenaga, pikiran, dan berbagai masalah. Terlepas dari sana, Surya juga bergelut dengan diri sendiri terkait nalurinya sebagai lelaki. Mencintai seseorang yang setia dengannya atau berjuang dengan putri yang memikatnya di tempat lain.
Siapa sebenarnya Surya? Ada apa dengan Mentari dan Rembulan? Atau mengapa anak Toraja bisa tahu tentang Gunung Sagarmatha, dan lainnya? Silakan membaca novel ini untuk lebih jelasnya. Berikut sedikit kutipannya
“Dunia tak selebar daun miyana. Kalau mau jadi pelaut ulung, belajarlah dari orang Bugis Makassar. Bila mau pintar memasak rending belajarlah dari orang Minang. Kalau mau jago berdagang tuntutlah ilmu dari orang China. Kalau mau belajar membatik pergilah ke Tanah Jawa – halaman 14”
“Apalah arti hidup ini, bila kita tidak membantu sesame kita. Jadi nggak perlu berterima kasih kepada saya, tetapi berterima kasihlah kepada Gusti Allah – halaman 294”
“Ini berarti cinta kalian belum matang sama sekali walaupun hati kalian berdia sudah sangat tulus. Masih perlu proses dan waktu untuk mematangkannya. Ketulusan, kejujuran dan kesetiaan adalah modal utama – halaman 465”
*****
Cerita Budaya Berbalur dengan Catatan Perjalanan
Saya membaca novel ini dalam waktu satu minggu. Sejak pertama, saya terkesima dengan penjelasan yang berkaitan dengan budaya di Toraja. Bagaimana para pemangku adat mengambil keputusan, serta tahu sedikit tentang upacara-upacara yang dilakukan.
Jauh lebih lama membaca, penulis mengarahkan saya pada kebudayaan di Jawa, khususnya di Jogja. Secara rinci dia menuliskan tempat-tempat yang tidak asing bagi saya. Mulai dari ujung Kalasan hingga menyusuri gang-gang di area Kraton.
Menarik memang, bagaimana penulis dengan rinci dapat mengerti kebudayaan yang ada di Jogja khususnya di Kraton. Dia memaparkan dengan rinci namun mudah dipahami. Suatu hal yang memang harus dimiliki setiap penulis agar pesannya tersampaikan.
Sepertiga halaman menuju terakhir, lagi-lagi saya dibuat berdecak kagum. Dua segmen di atas bercerita tentang kebudayaan Toraja dan Kraton Jogja, di sini malah seperti sedang membaca catatan perjalanan. Semacam cerita travelling yang menyenangkan.
Bagaimana tidak, pembaca harus berimajinasi mengikuti alur cerita penulis sampai pada Nepal. Sebuah negara yang terkenal keindahan bentangan gunung-gunung menjulang tinggi. Salah satunya adalah bercerita tentang perjalanan dari Jawa hingga kaki Gunung Sagarmatha.
Saya dan Novel Surya, Mentari dan Rembulan |
Dari bacaan ini, saya mendapatkan sebuah pesan tersirat tentang keinginan penulis untuk menyebarkan informasi terkait harta pusaka Keraton Ngayogyakarta yang dirampok oleh Raffles dan tentara Inggris tahun 1812 untuk dikembalikan. Konon benda-benda tersebut ada di British Museum London dan di India.
Pun dengan pesan-pesan yang lainnya menarik untuk diulas. Namun, saya tidak secara gamblang menulisnya agar kalian tertarik membaca secara langsung. Setiap cerita ada pesan tersirat yang ingin disampaikan. Tentang sejarah, percintaan, hingga rasa setia kawan. Semua berbaur menjadi satu di novel ini.
Tulisan di sini cukup ringan. Meski mengulas tentang masa lampau, penulis menggunakan Bahasa yang sekarang relevan seperti Hoaks dan juga percakapan gaul ala anak millennial. Selain itu, ada banyak kata daerah yang disertakan (lengkap dengan artinya pada catatan kaki).
Setiap tulisan tidak sempurna, pun dengan novel ini. Seingat saya, ada satu kata yang salah ketik. Jika tidak salah pada halaman lima. Seharusnya penulis mengatakan “mengerikan” hanya saja tertulis “menggerikan”. Kesalahan tulis minor seperti ini sering tejadi, tapi tidak mengurangi keseruan dalam alur cerita.
Jika kalian suka tulisan sejarah dibalut dengan cerita ringan, pun bersatu dengan budaya dan catatan perjalanan (travelling), tentu saya rekomendasikan untuk membaca Novel Surya, Mentari dan Rembulan karya Sili Suli. Selamat Membaca dan Salam Literasi!
7 Komentar
Maturnuwun reviewnya mas Nasirullah Sitam..... sampai terhanyut membacanya. Semoga bisa ketemuan di Jogja bulan depan
BalasHapusTerima kasih kembali Bang Sili Suli. Semoga menghasilkan karya. Kemarin beberapa teman tanya tentang novel ini. :-)
HapusKeren reviewnya
BalasHapusTerima kasih, jika berminat bisa langsung membeli bukunya hahahahah
HapusNovelnya bisa dibeli dimana mad
BalasHapusBisa beli di Tokopedia, cek nama "Sili Suli"
HapusmNTp resensinya mas.....
BalasHapus