Novel Balada Cito Citi Karya Edi AH Iyubenu |
Masa pandemi Covid-19 membuat saya sedikit lebih luang. Buku-buku yang hanya tertumpuk di atas meja mulai terbaca. Setidaknya, di bulan Maret – April 2020, saya sudah membaca lebih dari enam buku dengan ketebalan berbeda.
Baru juga menuntaskan buku, melihat koleksi di meja berpindah pada bak plastik, saya tersenyum. Lalu membuka media sosial. Cuitan pertama yang muncul dari akun Diva Press. Mereka menebar promosi buku karya Pak Edi AH Iyubenu dengan harga yang tidak masuk akal.
Untuk sesaat, saya mengambil gawai. Menyimpan salah satu narahubungnya, dan pastinya langsung mengirimkan bukti pembayaran. Percayalah, buku empat eksemplar ini saya tebus di bawah 100.000 rupiah. Itupun sudah termasuk ongkir. Ada yang lebih murah?
*****
Judul: Balada Cito Citi – Gampang Sayang, Gampang Kangen
Penulis: Edi AH Iyubenu
ISBN: 9786023919710
Tahun Terbit: Tahun 2020
Penerbit: Diva Press
Halaman: 132
Genre: Komedi
Gampang Sayang, Gampang Kangen
Cito, sosok pemuda yang sudah sangat cukup umur untuk menikah sedang mencari pasangan hidup. Penulis sendiri menyebutnya dengan kata “Matang-Pohon”. Mungkin diartikan memang sudah waktunya menikah dan benar-benar dewasa tanpa menggunakan karbit.
Hari terus berputar, bagi Cito semuanya tampak tak berbeda. Rutinitas di kedai kopi, berbincang dengan teman-teman Wit Nongko, berdiskusi sembari merokok, atau malah menggoda cewek-cewek yang berdatangan ke kedai kopi.
Suatu ketika, ritme waktu berubah drastis. Berawal dari kedatangan cewek cantik nan menawan bak turun dari langit meluluhkan hati Cito. Dia merasa, cewek ini adalah bagian dari rusuknya yang selama ini dicari.
Cowok yang digambarkan dengan rambut gondrong, anak sastra banget, mudah jatuh cinta, tapi jiwanya sangat rapuh jika berurusan dengan percintaan. Saking mendalami sastra, ketika dia membaca cerita pendek yang tragis pun hatinya tersayat-sayat.
Bayangkan saja, urusan cerita yang dibumbuhi polemik saja dia begitu terpukul. Bagaimana dengan kehidupan dia dalam mengejar cinta cewek nan ayu bernama Citi. Tentu ini menjadi perjuangan tak berkesudahan bagi mantan santri dari Kudus.
Persoalan demi persoalan mencuat. Tuntutan emaknya untuk segera menikah, hingga berjuang mendapatkan hati sang pujaannya. Terlebih teman-temannya bukannya mendukung dengan semangat tinggi, malah lebih banyak bercanda melihat polah Cito.
“Teman-temanmu apa ndasnya ndak ngelu to, Dik, nyawang wajahmu yang sayangable kayak gitu? – Halaman 42”.
“Cah kae jangankan ke perempuan, Mbah, helm dimaskeri aja udah bikin dia sayang. Mbuh, lanangan cap opo kae – Halaman 84”.
“Cinta adalah engkau. Di dalam ‘engkau’ ada ‘aku’. Tanpa ‘aku’, ‘engkau’ hanyalah ‘eng’, apa artinya selain kekosongan dan kehampaan – Halaman 112”.
Menyesap kopi sembari membaca buku |
Pendapat Saya Tentang Novel Komedi Balada Cito Citi
Terus terang, ketika membaca novel ini, saya teringat tulisan-tulisan Pak Edi di portal Mojok ataupun di Basabasi. Bahasa beliau menggelitik dengan kata-kata yang lucu serta suka blak-blakan. Pun dengan novel Balada Cito Citi, di bagian bawah tertulis jelas “novel komedi 18+”.
Ingat, meski tulisannya 18+, ini bukan macam film yang ada banyak adegan enaena-nya. Banyak lelucon dengan bahasa Jawa, serta nyerempet agak saru. Tentu kesaruan tersebut masih dalam batas yang wajar.
Cerita novel yang ditulis Pak Edi ini sosoknya orang-orang di sekitar beliau. Nama-nama yang ada di sosok ini relevan dengan kolega-kolega beliau di Twitter. Sudut kedai kopi yang diambil pun tidak jauh dari nama Kafe Basabasi dan yang lainnya.
Terus terang, novel ini menyenangkan bagi saya yang membaca. Beliau mengulas perihal percintaan anak muda bukan sekadar pengganti lampiasan nafsu. Tapi jauh dari itu. Sebuah komitmen. Butuh perjuangan, butuh kemantapan, butuh keuletan usaha, dan butuh mental kala sedang mencintai.
Setidaknya membuka wawasan baru. Jika kita mencintai seseorang, kita tidak boleh terlalu percaya diri bahwa nantinya cinta kita pasti diterima. Tapi beliau mengingatkan jika cinta bisa bertepuk sebelah tangan. Semua harus siap dengan hal seperti itu.
Selain itu, di antara lontaran komedi yang membuat hati terpingkal (terlebih bagi yang paham bahasa Jawa). Pada bagian-bagian akhir terdapat selipan tentang agama, khususnya tentang Ushul Fiqh. Pemaparan yang berat dikemas dengan santai. Sesuatu hal yang menarik.
Saya salah satu pembaca setia Pak Edi, dan saya selalu suka dengan kata-kata yang beliau jadikan lelucon. Entah di lini masa media sosial ataupun di portal semacam Mojok serta Basabasi. Novel ini ditulis dengan santai dan enak dibaca kala penat.
Terlepas dari itu semua, tentu ada beberapa kekurangan pada novelnya. Salah satu pastinya pada kesalahan ketik di beberapa kata misalkan ‘mengikuti=mengkuti, mendapatkan=memdapatkan’ dan beberapa lagi. Tentu yang paling jelas adalah kurang panjang pak ceritanya. Biar Citogog makin rapuh hatinya.
0 Komentar